Ibu, Pahlawan Sesungguhnya
Cindy Pradytha Diputri *)
Kasih ibu kepada beta, tak terhingga
sepanjang masa. Hanya memberi, tak harap kembali. Bagai sang surya menyinari
dunia. Lagu itu
seakan tidak asing bila kita lantunkan, lirik yang menyiratkan makna luar
biasa, suatu keadaan nyata, dan lagu yang selalu kita nyanyikan semassa kita
kanak-kanak dahulu. Akankah sekarang kita pun masih menyanyikannya? Mungkin
sebagian anak akan lupa dengan lagu ini.
Bila kita bertanya tentang hari ibu, pasti semua orang
berbeda-beda cara pandang dan memaknainya. Memang hari ibu Nasional diperingati
setiap 22 Desember, tetapi sebenarnya hari ibu sudah semestinya diperingati
setiap hari. Karena ibu adalah orang yang akan selalu sigap setiap waktu,
selalu mendengarkan keluh kesah anak-anaknya dalam pelbagai macam keadaan.
Sungguh mulia derajatnya.
Ibu adalah lambang surga yang nyata, harumnya semerbak
dengan kasih sayang tulus. Menunggu kita yang masih berada di dalam kandungan
merupakan kenangan, penantian dan suatu kebahagiaan yang tidak akan dilupa
sepanjang massa. Ibu selalu sabar menanti, di saat kandungan mencapai 120 hari,
saat itulah Allah mengutus malaikat-Nya untuk meniupkan ruh kedalam jasad.
Menetapkan jalan kehidupan, kebahagiaan, kesedihan saat di dunia maupun
akherat. Seperti kabar beliau Nabi Muhammad Saw. “Sesungguhnya tiap-tiap kalian
dikumpulkan penciptanya dalam rahim ibunya selama 40 hari berupa nutfah,
kemudian menjadi alaqah (segumpal darah), lalu Mudhghoh (segumpal daging)
selama itu juga, kemudian diutuslah Malaikat untuk meniupkan ruh kepadanya lalu
diperintahkan untuk menuliskan empat kata: Rizki, Ajal, Amal dan Celaka atau
bahagianya. (H.R. Bukhari dan Muslim).
Di dalam kandungan, kita menggerak-gerakkan anggota tubuh.
Menendang-nendang perut beliau sebagai tanda bahwa kita ada didalam
kandungannya. Ibu tidak pernah mengeluh atas perlakuan kita yang
menggerak-gerakan anggota tubuh semena-mena, ia bahkan tersenyum bahagia walau
perutnya menahan rasa sakit, seiring bertambah berat badan dan usia kita
didalam kandungan.
Seorang Ibu, ketika ia dihadapkan dengan pertaruhan dua
pilihan. Antara hidup dan mati. Sudah pasti kita ketahui jawabannya, ia akan
memilih untuk menyelamatkan diri kita dari pada mengutamakan nyawanya. Seluruh
lelah, penat, dan payah akan terhapus di kala ia mendengar tangis buah hatinya
untuk pertama kali, melihat tubuh merah mungil kita yang sangat lucu baginya.
Beliau sangat lega, pertanda kita terlahir dengan selamat ke dunia. Air mata
mengalir dipipinya, seraya melengkungkan bibir kebahagiaan yang tiada
tandingan.
Jika setiap bangsa memiliki pahlawan, maka kita pun sungguh
memilikinya. Pahlawan kita adalah Ibu. Ibu yang rela berkorban mati sampai
titik penghabisan. Seperti apapun dan bagaimana pun beliau, tetaplah ia derajat
yang paling mulia. Bidadari tanpa sayap, pahlawan tanpa tanda jasa sepanjang
hayat. Memperlakukan anaknya istimewa hingga dewasa, meski kadang dikecewakan.
Seiring bertambah dewasa, ilmu pengetahuan dan globalisasi sangat menuntut
kita. Tidak jarang anak dalam menimba ilmu sampai harus menjauh dari ibu.
Seperti pepatah “tuntutlah ilmu sampai negeri China” maka kadang anak pun
sangat jauh jaraknya.
Dari kewajiban menuntut ilmu tersebut, muncullah benih
masalah. Kurangnya komunikasi antara anak dengan Ibu, kadang Ibu dikesampingkan
oleh adanya seseorang yang baru. Ada pula sampai menyepelekan kabar dari Ibu,
padahal beliau di rumah sangat merindukan kita sebagai anaknya. Karena kita
terlalu sibuk dan lelah atas aktifitas, menganggap rindu seorang Ibu adalah hal
yang biasa. Padahal keridoan Allah terletak pada keridoan Ibu. Seharusnya di
samping kewajiban menuntut ilmu, kita juga jangan terlena dalam mengutamakan
kewajiban yang jauh lebih penting, yaitu “Ibu”.
Di zaman ini, tidak banyak pula Ibu menuntut anaknya agar
seperti yang diinginkannya. Misalnya anak bercita-cita ingin menjadi Guru,
dipaksakan untuk menjadi Dokter. Tentu banyak faktor yang melatar belakangi Ibu
dalam menuntut. Hal ini memang terlihat kecil dan spele, tetapi dibalik itu ada
paksaan yang membuat anak merasa tidak nyaman. Mereka tertekan oleh hal yang
tidak ingin dikehenendakinya. Dalam prosesnya kadang tidak maksimal sesuai
tuntutan Ibu dan Ayahnya, itu karena mereka tidak menyukai hal yang dipaksakan
tersebut.
Ketika anak memasuki ranah bekerja, ia berkeinginan
membahagiakan Ibunya dengan kerja keras. Menganggap tahta dan harta adalah
solusinya. Sungguh, ketahuilah bukan hal yang semacam itu yang diinginkannya
oleh Ibu. Ibu hanya ingin melihat anaknya bahagia disertai rasa berbakti anak
kepadanya, rasa hormat yang tersirat, rasa cinta yang luar biasa. Bukan dengan
harta yang melipat ganda. Seperti firman Allah “Kami perintahkan kepada manusia
supaya berbuat baik kepada dua orang, Ibu dan bapaknya, Ibu yang mengandungnya
dengan susah payah dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya
sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa
dan umurnya sampai empat puluh tahun (QS. Al-Ahqaf 15).
Sudah semestinya anak harus berbakti kepada kedua orang tua,
khususnya seorang Ibu. Mulailah anak berkomunikasi dengan Ibu walau mereka
terasa jauh, tidak akrab atau canggung. Hilangkan rasa gengsi, selalu rendah
hati dan meminta maaf atas perlakuan kita yang keliru. Percayalah seorang Ibu
akan selalu mendoakan yang terbaik untuk anaknya dalam keheningan.
Dari sahabat Abu Hurairah R.A beliau berkata: Datang seorang
pria laki-laki kepada Rasulullah kemudian dia bertanya: “Wahai Rasulullah,
siapakah yang paling berhak untuk kuperlakukan dengan baik?” Beliau bersabda:
“Ibumu”, orang tersebut bertanya lagi, “kemudian siapa?” Beliau bersabda:
“Ibumu” orang tersebut bertanya lagi, “kemudian siapa?” Beliau bersabda
“Ibumu”. Orang terbut bertanya lagi, “kemudian siapa?” Beliau bersabda, “Bapak
mu” (HR. Bukhari dan Muslim). Ibu adalah seseorang yang paling juara dalam
perjalanan hidup kita. Ketulusannya seperti mentari yang tanpa pamrih menyinari
dunia, meski kadang di balas dengan cibiran. Ibu, adalah Bidadari tanpa sayap,
perantara jalan menuju syurga-Nya untukku. Aku Mencintaimu Ibu.
*) Mahasiswi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon
** artikel ini terbit di Harian Rakyat Cirebon edisi 24 Desember 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar