Kamis, 25 Desember 2014

Resensi: Novel yang Jatuh tak pernah Membenci Angin - tereliye



RESENSI NOVEL
DAUN YANG JATUH TAK PERNAH MEMBENCI ANGIN
 TERE-LIYE

oleh, Nindi Aulia Rahmah
 
Judul                           : Daun yang jatuh tak pernah membenci angin.
Pengarang                   : Tere-Liye
Penerbit                      : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan                       : Keempat belas, 2014
Jumlah Halaman         : 264 Halaman

Daun yang jatuh tak pernah membenci angin . . .

Dia bagai malaikat bagi keluarga kami. Merengkuh aku,
adikku, dan ibu dari kehidupan jalanan yang miskin dan
nestapa. Memberikan makan, tempat teduh, sekolah
dan janji masa depan yang lebih baik.

Dia sungguh bagai malaikat bagi keluarga kami.
Memberikan kasih sayang, perhatian dan teladan tanpa
mengharap budi sekali pun. Dan lihatlah, aku membalas
itu semua dengan membiarkan mekar perasaan ini.

Ibu benar, tak layak aku mencintai malaikat keluarga
kami. Tak pantas. Maafkan aku , Ibu. Perasaan kagum,
terpesona, atau entahlah itu meuncul tak tertahankan
bahkan sejak rambutku masih dikepang dua.

Sekarang, ketika aku tahu dia boleh jadi tidak pernah
menganggapku lebih dari seorang adik yang tidak tahu
diri, biarlah . . . . Biarlah aku luruh ke bumi seperti sehelai
daun . . . daun yang tidak pernah membenci angin meski
harus terenggutkan dari tangkai pohonnya.

***
Daun yang jatuh tak pernah membenci angin, mengisahkan perjalanan hidup dari seorang wanita ―Tania, selama 2 jam. Tania memulai ceritanya dengan berdiri dalam ‘akuarium’ yakni sebuah toko buku yang berdinding kaca-kaca tebal. Ia mengingat kilas balik hidupnya, yang tadinya hidup di jalanan kini menjadi masa depan yang lebih baik. Seperti sebuah lego yang disusun satu per satu hingga menjadi utuh, kisah yang ditulis oleh Tereliye ini sanggup menghanyutkan hati pembaca.
Ketika berumur 11 tahun, kerasnya kehidupan membuat Tania dan Dede― adiknya, terpaksa mencari uang dengan mengamen dari satu bus ke bus lainnya, hal tersebut mereka lakukan demi membantu ibunya yang sudah sakit-sakitan. Ayahnya meninggal dunia sejak Tania berusia 8 tahun, sejak saat itu pula kehidupan yang mulanya pas-pasan berbalik menjadi serba kekurangan. Tania, Dede dan Ibunya akhirnya memilih hidup di rumah kardus di dekat sungai dan tempat pembuangan sampah, yang di depan rumah kardus tersebut terdapat pohon linden ― akar semua cerita ini.
Ketika Tania dan Dede sedang mengamen, tanpa sengaja kaki Tania yang tanpa alas itu menginjak paku payung dan membuatnya berdarah.  Ketika itulah seseorang datang menolong dan membalut luka Tania dengan sapu tangan putih miliknya. Pria tersebut bernama Danar Danar, nama yang lucu karena diulang. Dia adalah malaikat yang dikirim Tuhan untuk mengubah masa depan yang lebih baik, menjanjikan kehidupan yang indah bagi Tania, Dede dan Ibunya. Pria yang membuka babak baru dalam kehidupan Tania, juga menjadi cinta pertama baginya. Cinta di bawah pohon Linden, cerita yang tak akan pernah usai.
***
Sudut pandang yang digunakan dalam novel ini adalah sudut pandang orang pertama yang membuat emosi dan penyampaian yang baik sehingga dapat dinikmati oleh pembaca. Pembaca seolah merasakan bagaimana perasaan Tania dalam penuh pengharapan dan menerka apa yang akan terjadi selanjutnya.
Karakter Tania yang kuat dan cerdas tergambar begitu jelas, dan Dia ― Danar, yang baik hati, penyayang dan tulus menjadi prasyarat untuk menjadi tokoh favorit yang disenangi semua orang, dari anak-anak, remaja tanggung hingga wanita yang membutuhkan pendamping hidup. Sementara itu, sang Ibu yang begitu tegar telah mengajarkan Tania tentang nilai-nilai kehidupan dan arti  kesabaran dalam perjuangan melalui masa-masa berat. Serta Dede, sang adik kecil yang suka nyeletuk seenaknya, disaat-saat tertentu bisa diandalkan dan mampu menjadi sosok yang diandalkan.
Alur maju-mundur yang disampaikan penulis dalam bercerita sama sekali tidak membosankan dan tidak membuat bingung pembaca. Penulis sangat sistematis dalam merangkai cerita sehingga pembaca dapat menemukan benang merahnya dengan mudah. Alur maju-mundur dari pemandangan kota Depok masa kini, lalu mundur ke masa lalu, kehidupan di Singapura terbagi menjadi bab-bab yang disusun secara sistematis.
Novel ini menyimpan potongan teka-teki terakhir yang akan menjawab pertanyaan yang menghantui Tania selama bertahun-tahun. Seperti apa jawabannya? Silakan dibaca sendiri.

“ … daun yang jatuh tak pernah membenci angin, dia membiarkan dirinya jatuh begitu saja. Tak melawan. Mengikhlaskan semuanya …”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar