RESENSI
NOVEL
DAUN YANG JATUH TAK
PERNAH MEMBENCI ANGIN
TERE-LIYE
oleh, Nindi Aulia Rahmah
Judul : Daun yang jatuh tak
pernah membenci angin.
Pengarang : Tere-Liye
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Keempat belas, 2014
Jumlah Halaman : 264 Halaman
Daun
yang jatuh tak pernah membenci angin . . .
Dia bagai malaikat bagi keluarga kami.
Merengkuh aku,
adikku, dan ibu dari kehidupan jalanan
yang miskin dan
nestapa. Memberikan makan, tempat
teduh, sekolah
dan janji masa depan yang lebih baik.
Dia sungguh bagai malaikat bagi
keluarga kami.
Memberikan kasih sayang, perhatian dan
teladan tanpa
mengharap budi sekali pun. Dan
lihatlah, aku membalas
itu semua dengan membiarkan mekar
perasaan ini.
Ibu benar, tak layak aku mencintai
malaikat keluarga
kami. Tak pantas. Maafkan aku , Ibu.
Perasaan kagum,
terpesona, atau entahlah itu meuncul
tak tertahankan
bahkan sejak rambutku masih dikepang
dua.
Sekarang, ketika aku tahu dia boleh
jadi tidak pernah
menganggapku lebih dari seorang adik
yang tidak tahu
diri, biarlah . . . . Biarlah aku luruh
ke bumi seperti sehelai
daun . . . daun yang tidak pernah
membenci angin meski
harus terenggutkan dari tangkai pohonnya.
***
Daun
yang jatuh tak pernah membenci angin, mengisahkan
perjalanan hidup dari seorang wanita ―Tania, selama 2 jam. Tania memulai
ceritanya dengan berdiri dalam ‘akuarium’ yakni sebuah toko buku yang
berdinding kaca-kaca tebal. Ia mengingat kilas balik hidupnya, yang tadinya
hidup di jalanan kini menjadi masa depan yang lebih baik. Seperti sebuah lego
yang disusun satu per satu hingga menjadi utuh, kisah yang ditulis oleh
Tereliye ini sanggup menghanyutkan hati pembaca.
Ketika berumur 11
tahun, kerasnya kehidupan membuat Tania dan Dede― adiknya, terpaksa mencari
uang dengan mengamen dari satu bus ke bus lainnya, hal tersebut mereka lakukan
demi membantu ibunya yang sudah sakit-sakitan. Ayahnya meninggal dunia sejak
Tania berusia 8 tahun, sejak saat itu pula kehidupan yang mulanya pas-pasan
berbalik menjadi serba kekurangan. Tania, Dede dan Ibunya akhirnya memilih
hidup di rumah kardus di dekat sungai dan tempat pembuangan sampah, yang di
depan rumah kardus tersebut terdapat pohon linden ― akar semua cerita ini.
Ketika Tania dan Dede
sedang mengamen, tanpa sengaja kaki Tania yang tanpa alas itu menginjak paku payung
dan membuatnya berdarah. Ketika itulah seseorang datang menolong dan membalut
luka Tania dengan sapu tangan putih miliknya. Pria tersebut bernama Danar
Danar, nama yang lucu karena diulang. Dia
adalah malaikat yang dikirim Tuhan untuk mengubah masa depan yang lebih baik,
menjanjikan kehidupan yang indah bagi Tania, Dede dan Ibunya. Pria yang membuka
babak baru dalam kehidupan Tania, juga menjadi cinta pertama baginya. Cinta di
bawah pohon Linden, cerita yang tak akan pernah usai.
***
Sudut pandang yang
digunakan dalam novel ini adalah sudut pandang orang pertama yang membuat emosi
dan penyampaian yang baik sehingga dapat dinikmati oleh pembaca. Pembaca seolah
merasakan bagaimana perasaan Tania dalam penuh pengharapan dan menerka apa yang
akan terjadi selanjutnya.
Karakter Tania yang kuat
dan cerdas tergambar begitu jelas, dan Dia
― Danar, yang baik hati, penyayang dan tulus menjadi prasyarat untuk menjadi
tokoh favorit yang disenangi semua orang, dari anak-anak, remaja tanggung
hingga wanita yang membutuhkan pendamping hidup. Sementara itu, sang Ibu yang
begitu tegar telah mengajarkan Tania tentang nilai-nilai kehidupan dan
arti kesabaran dalam perjuangan melalui
masa-masa berat. Serta Dede, sang adik kecil yang suka nyeletuk seenaknya, disaat-saat tertentu bisa diandalkan dan mampu menjadi
sosok yang diandalkan.
Alur maju-mundur yang
disampaikan penulis dalam bercerita sama sekali tidak membosankan dan tidak
membuat bingung pembaca. Penulis sangat sistematis dalam merangkai cerita
sehingga pembaca dapat menemukan benang merahnya dengan mudah. Alur maju-mundur
dari pemandangan kota Depok masa kini, lalu mundur ke masa lalu, kehidupan di
Singapura terbagi menjadi bab-bab yang disusun secara sistematis.
Novel ini menyimpan
potongan teka-teki terakhir yang akan menjawab pertanyaan yang menghantui Tania
selama bertahun-tahun. Seperti apa jawabannya? Silakan dibaca sendiri.
“
… daun yang jatuh tak pernah membenci angin, dia membiarkan dirinya jatuh
begitu saja. Tak melawan. Mengikhlaskan semuanya …”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar