Nomaden yang Berujung di Gedung
Kesenian Nyi Mas Rara Santang
Oleh;
Teti Yohana (2D/113050106)
Diantara
beberapa pekerja bangunan, seorang pria paruh baya yang berada di lantai atas
gedung terlihat tengah memasang gorden. Gedung ini terletak di kawasan Stadion
Bima, Cirebon. Gedung berwarna putih yang memiliki tiang-tiang yang tinggi
berwarna crem, disekelilingnya nampak rumput-rumput yang baru saja ditanam.
Gedung ini bersebelahan dengan Dinas Pemadam Kebakaran Kabupaten Cirebon, ialah
Gedung Kesenian Nyi Mas Rara Santang. Dengan hanya dibalut kaos dalam putih,
celana pendek selutut, dan rambut gondrongnya yang diikat, beliau nampak sibuk
merapikan sekelilingnya. Nampak wajah yang sederhana dibalik rambut gondrongnya
yang sudah memutih sebagian. Bersama seorang wanita yang sudah tak tegap
berjalan. Jilbab hitam dan baju panjang yang ia kenakan, nampak begitu setia
menemani.
Pria
kelahiran 30 September 1964, atau berkisar 50 tahun silam ini bernama Toni
Supriadi, yang biasa dipanggil dengan sebutan “Pak Totong”. Yang merupakan ayah
dari kelima orang anak hasil pernikahan dengan istrinya bernama Suharti, yang
juga kelahiran 30 September namun pada tahun 1959. Terpaut usia lima tahun
diantara mereka. Menurutnya ia sudah berada di gedung ini sejak sembilan tahun
yang lalu, sebagai penjaga gedung. “Bapak sih disini itu sejak tahun 2005 neng,
jadi bapak disini ya jagain gedung ini. Beres-beres, bersih-bersih, ya sudah
bapak anggap rumah sendiri lah neng,” ujarnya sambil tersenyum. Jadi sepasang
suami-istri ini, sudah menetap di gedung ini selama beberapa tahun dan menjaga
gedung tersebut. “Ya daripada tidak punya tempat tinggal neng, lebih baik
disini,” tuturnya sebagai alasan menempati gedung ini. Menurut
sepengetahuannya, gedung Nyi Mas Rara Santang ini berdiri sekitar tahun 90an.
Pada tahun 2009 gedung ini sudah mulai hancur, plafonnya runtuh. “Dulu mah
tidak seperti ini neng, udah mau runtuh atap-atapnya,” tutur Ibu Suharti.
Setelah melihat keadaan gedung yang sudah tidak layak, gedung ini baru
dibereskan pemerintah pada tahun 2014 tepatnya pada bulan September lalu.
“Awalnya bapak melamar ke Bapak Walikota tahun
2005, untuk jadi penjaga di gedung ini, agar bapak bisa dikatakan resmi ada
disini. Nah setelah itu berhubung bapak tidak punya tempat tinggal, jadi bapak
minta izin juga untuk tinggal disini,” ungkap Pak Totong.
Sebelumnya, Pak Totong ialah keluarga yang
bisa dikatakan nomaden. Berpindah
dari kontrakan satu ke kontrakan lain. Selama lima belas tahun beliau harus
dengan tabah berpindah-pindah. Dari komplek Pertamina (tahun 1990), kemudian
pindah ke Drajat (tahun 1991), dari Drajat ke Langen Sari Baru Kesambi (1992),
ke Pecilon (tahun 1994) , setelah itu ke daerah Sunyaragi di Gang Labu (tahun
1996), kemudian ke Cigendeng di depan Asrama Polisi Militer (tahun 1996), lalu
ke Kedawung (daerah Kemlaka) dan akhirnya pada tahun 2005 berujung di daerah
Stadion Bima yaitu di gedung Nyi Mas Rara Santang. Beliau harus melakoni ini
semua sebab untuk meringankan beban perekonomian keluarganya karena
anak-anaknya selalu mendapatkan sekolah yang memiliki jarak cukup jauh,
sehingga mereka harus berpindah ke kontrakan yang memang sedikit lebih dekat
dengan kawasan tempat anaknya menuntut ilmu.
Selain
menjaga gedung ini, pak Totong ialah seorang penarik becak. “Bapak punya becak
neng, dulu sih waktu masih pindah-pindah kontrakannya, bapak masih nyewa becaknya ke teman bapak. Tapi
alhamdulillah sekarang udah punya becak sendiri. Waktu ada rezeki dibeliin becak, ” ujar Pak Totong dengan
raut berseri. Kesederhanaan yang dimiliki beliau dan istrinya, membuat hidup
mereka terasa lebih sejahtera meski kenyataannya mereka harus bersusah payah
dengan keterbatasan ini. Hasil dari mengayuh becak yang dilakukan Pak Totong
yang biasanya mangkal di sekitaran mall-mall yang ada di kota, memang tak
seberapa. “Tidak tentu neng, kan narik becak mah bukan seperti kerja bangunan.
Paling besar itu Rp 50ribu kadang-kadang, paling kecil anatara Rp 10ribu atau
Rp 15ribu, lumayan buat nambah-nambah,” ungkap Pak Totong. Beliau mulai
mengayuh becaknya saat sore sekitar pukul 16.00 WIB atau 17.00 WIB sampai
sekitar jam 18.00 WIB. Kegiatan ini berlangsung ketika Pak Totong sudah menetap
di gedung kesenian ini. Dulu, ketika masih pindah-pindah kontrakan, Pak Totong
mengayuh becaknya setelah ia selesai bekerja serabutan menjadi pekerja
bangunan.
Pria
yang bertamatkan sekolah menengah di SMK Muhammadiyah Kedawung ini,
sehari-harinya membersihkan seluruh gedung. “Gedung ini udah tanggung jawab
sendiri neng. Terus kalo ada pentas ya bapak beres-beres. Kadang dikasih
100ribu,” ungkapnya.
Saat
ini, di usia Ibu Suharti yang menginjak 55 tahun, ternyata ia mengidap penyakit
asam urat. Yang menyebabkan ia sedikit tidak kuat untuk berjalan lama-lama.
Kata Pak Totong, ibu sudah diobati dengan segala macam obat, tapi tetap saja
belum sembuh. “Ibu pernah disuruh ikut sama anak ibu buat berobat dan tinggal
bersama mereka, tapi ibu gak mau neng. Nanti gak ada yang ngurus Indra,” tutur
Ibu Suharti. Memang, sekarang ada anak bungsunya yang masih tinggal bersama
mereka. Dengan ketulusan hati Ibu Suharti yang tidak mau ketika diajak untuk
berobat karena ia memilih untuk mengurusi anaknya, merupakan suatu pengabdian
seorang ibu yang ingin menjaga anaknya. Maha Besar Allah atas segala perasaan.
Anak
bungsunya bernama Indra Lesmana, 24 tahun. Sekarang bekerja di balai kota
Cirebon. Anak-anak Pak Totong tumbuh sebagai anak-anak yang memiliki nasib
baik. Mereka dapat bersekolah dan saat ini kelima anaknya sudah memiliki
pekerjaan yang layak. Ada yang bekerja di PJ KA di Lampung, ada yang di Hotel
Sangkanhurip Kuningan, lalu ada yang di bagian administrasi diler Yamaha
Kuningan dan ada pula yang bekerja di Malaysia. Keluarga ini sering berkumpul
saat lebaran di gedung kesenian Nyi Mas Rara Santang. Anak-anaknya pun tumbuh
menjadi anak-anak yang berbakti. Masih mengirimi uang kepada Pak Totong dan Ibu
Suriah.
“Disini bapak merasa enak, segalanya gratis,
air dan listrik juga bebas. Meskipun gak ada gaji, paling cuma honor Rp 200ribu
atau Rp 300ribu perbulan dari pemerintah,” ungkap Pak Totong. Dibalik rasa
nyamannya menempati gedung ini, beliau masih menyimpan harapan untuk bisa
memiliki rumah sendiri. “Cukup gak cukup , tapi kita tetap bersyukur karena
lebih berat kalau kita di luar. Kita lebih baik seadanya seperti sekarang. Pengen punya gubug sendiri mah neng,
biar kecil, bertahan, asal bisa numpang hidup,” ujar Pak Totong.
Ternyata
dibalik kenyamanan yang Pak Totong rasakan berada di gedung ini, beliau masih
memendam harap agar beliau memiliki rumah sendiri meskipun hanya sebuah gubug
kecil. Selain memiliki harapan terhadap kelangsungan tempat tinggalnya, beliau
juga memiliki harapan tersendiri untuk gedung kesenian ini. “Jika gedung ini
sudah bagus, harus ada pementasan atau kegiatan. Pemerintah atau seniman
diharapkan untuk membuat acaranya,” tuturnya.
Pekerjaan
sampingan yang dilakon Pak Totong yaitu meanarik becak, ternyata membuat Ibu
Suharti terkadang merasa takut berada di dalam gedung yang besar ini seorang
diri. “Ibu kadang takut neng kalo bapak lagi narik becak,” ungkapnya. Ibu
Suharti Nampak merasa kesepian jika Pak Totong tengah menarik becak di luar.
Namun, dengan raut yang ikhlas, mereka berusaha tetap mensyukuri keadaan yang
ada. Karena semua yang mereka lakukan, tidak lain hanyalah untuk menjalani
tuntutan hidup yang memang terkadang harus dijalani dengan cucuran peluh, dari
peluh yang berwujud ataupun yang tersurat di dalam perasaan. Nomaden yang
sungguh membawa hikmah. Antara keikhlasan dan kesederhanaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar