Sabtu, 27 Desember 2014

Nomaden yang Berujung di Gedung Kesenian Nyi Mas Rara Santang



Nomaden yang Berujung di Gedung Kesenian Nyi Mas Rara Santang
Oleh; Teti Yohana (2D/113050106)
Diantara beberapa pekerja bangunan, seorang pria paruh baya yang berada di lantai atas gedung terlihat tengah memasang gorden. Gedung ini terletak di kawasan Stadion Bima, Cirebon. Gedung berwarna putih yang memiliki tiang-tiang yang tinggi berwarna crem, disekelilingnya nampak rumput-rumput yang baru saja ditanam. Gedung ini bersebelahan dengan Dinas Pemadam Kebakaran Kabupaten Cirebon, ialah Gedung Kesenian Nyi Mas Rara Santang. Dengan hanya dibalut kaos dalam putih, celana pendek selutut, dan rambut gondrongnya yang diikat, beliau nampak sibuk merapikan sekelilingnya. Nampak wajah yang sederhana dibalik rambut gondrongnya yang sudah memutih sebagian. Bersama seorang wanita yang sudah tak tegap berjalan. Jilbab hitam dan baju panjang yang ia kenakan, nampak begitu setia menemani.
Pria kelahiran 30 September 1964, atau berkisar 50 tahun silam ini bernama Toni Supriadi, yang biasa dipanggil dengan sebutan “Pak Totong”. Yang merupakan ayah dari kelima orang anak hasil pernikahan dengan istrinya bernama Suharti, yang juga kelahiran 30 September namun pada tahun 1959. Terpaut usia lima tahun diantara mereka. Menurutnya ia sudah berada di gedung ini sejak sembilan tahun yang lalu, sebagai penjaga gedung. “Bapak sih disini itu sejak tahun 2005 neng, jadi bapak disini ya jagain gedung ini. Beres-beres, bersih-bersih, ya sudah bapak anggap rumah sendiri lah neng,” ujarnya sambil tersenyum. Jadi sepasang suami-istri ini, sudah menetap di gedung ini selama beberapa tahun dan menjaga gedung tersebut. “Ya daripada tidak punya tempat tinggal neng, lebih baik disini,” tuturnya sebagai alasan menempati gedung ini. Menurut sepengetahuannya, gedung Nyi Mas Rara Santang ini berdiri sekitar tahun 90an. Pada tahun 2009 gedung ini sudah mulai hancur, plafonnya runtuh. “Dulu mah tidak seperti ini neng, udah mau runtuh atap-atapnya,” tutur Ibu Suharti. Setelah melihat keadaan gedung yang sudah tidak layak, gedung ini baru dibereskan pemerintah pada tahun 2014 tepatnya pada bulan September lalu.
 “Awalnya bapak melamar ke Bapak Walikota tahun 2005, untuk jadi penjaga di gedung ini, agar bapak bisa dikatakan resmi ada disini. Nah setelah itu berhubung bapak tidak punya tempat tinggal, jadi bapak minta izin juga untuk tinggal disini,” ungkap Pak Totong.
 Sebelumnya, Pak Totong ialah keluarga yang bisa dikatakan nomaden. Berpindah dari kontrakan satu ke kontrakan lain. Selama lima belas tahun beliau harus dengan tabah berpindah-pindah. Dari komplek Pertamina (tahun 1990), kemudian pindah ke Drajat (tahun 1991), dari Drajat ke Langen Sari Baru Kesambi (1992), ke Pecilon (tahun 1994) , setelah itu ke daerah Sunyaragi di Gang Labu (tahun 1996), kemudian ke Cigendeng di depan Asrama Polisi Militer (tahun 1996), lalu ke Kedawung (daerah Kemlaka) dan akhirnya pada tahun 2005 berujung di daerah Stadion Bima yaitu di gedung Nyi Mas Rara Santang. Beliau harus melakoni ini semua sebab untuk meringankan beban perekonomian keluarganya karena anak-anaknya selalu mendapatkan sekolah yang memiliki jarak cukup jauh, sehingga mereka harus berpindah ke kontrakan yang memang sedikit lebih dekat dengan kawasan tempat anaknya menuntut ilmu.
Selain menjaga gedung ini, pak Totong ialah seorang penarik becak. “Bapak punya becak neng, dulu sih waktu masih pindah-pindah kontrakannya, bapak masih nyewa becaknya ke teman bapak. Tapi alhamdulillah sekarang udah punya becak sendiri. Waktu ada rezeki dibeliin becak, ” ujar Pak Totong dengan raut berseri. Kesederhanaan yang dimiliki beliau dan istrinya, membuat hidup mereka terasa lebih sejahtera meski kenyataannya mereka harus bersusah payah dengan keterbatasan ini. Hasil dari mengayuh becak yang dilakukan Pak Totong yang biasanya mangkal di sekitaran mall-mall yang ada di kota, memang tak seberapa. “Tidak tentu neng, kan narik becak mah bukan seperti kerja bangunan. Paling besar itu Rp 50ribu kadang-kadang, paling kecil anatara Rp 10ribu atau Rp 15ribu, lumayan buat nambah-nambah,” ungkap Pak Totong. Beliau mulai mengayuh becaknya saat sore sekitar pukul 16.00 WIB atau 17.00 WIB sampai sekitar jam 18.00 WIB. Kegiatan ini berlangsung ketika Pak Totong sudah menetap di gedung kesenian ini. Dulu, ketika masih pindah-pindah kontrakan, Pak Totong mengayuh becaknya setelah ia selesai bekerja serabutan menjadi pekerja bangunan.
Pria yang bertamatkan sekolah menengah di SMK Muhammadiyah Kedawung ini, sehari-harinya membersihkan seluruh gedung. “Gedung ini udah tanggung jawab sendiri neng. Terus kalo ada pentas ya bapak beres-beres. Kadang dikasih 100ribu,” ungkapnya.
Saat ini, di usia Ibu Suharti yang menginjak 55 tahun, ternyata ia mengidap penyakit asam urat. Yang menyebabkan ia sedikit tidak kuat untuk berjalan lama-lama. Kata Pak Totong, ibu sudah diobati dengan segala macam obat, tapi tetap saja belum sembuh. “Ibu pernah disuruh ikut sama anak ibu buat berobat dan tinggal bersama mereka, tapi ibu gak mau neng. Nanti gak ada yang ngurus Indra,” tutur Ibu Suharti. Memang, sekarang ada anak bungsunya yang masih tinggal bersama mereka. Dengan ketulusan hati Ibu Suharti yang tidak mau ketika diajak untuk berobat karena ia memilih untuk mengurusi anaknya, merupakan suatu pengabdian seorang ibu yang ingin menjaga anaknya. Maha Besar Allah atas segala perasaan. 
Anak bungsunya bernama Indra Lesmana, 24 tahun. Sekarang bekerja di balai kota Cirebon. Anak-anak Pak Totong tumbuh sebagai anak-anak yang memiliki nasib baik. Mereka dapat bersekolah dan saat ini kelima anaknya sudah memiliki pekerjaan yang layak. Ada yang bekerja di PJ KA di Lampung, ada yang di Hotel Sangkanhurip Kuningan, lalu ada yang di bagian administrasi diler Yamaha Kuningan dan ada pula yang bekerja di Malaysia. Keluarga ini sering berkumpul saat lebaran di gedung kesenian Nyi Mas Rara Santang. Anak-anaknya pun tumbuh menjadi anak-anak yang berbakti. Masih mengirimi uang kepada Pak Totong dan Ibu Suriah.  
 “Disini bapak merasa enak, segalanya gratis, air dan listrik juga bebas. Meskipun gak ada gaji, paling cuma honor Rp 200ribu atau Rp 300ribu perbulan dari pemerintah,” ungkap Pak Totong. Dibalik rasa nyamannya menempati gedung ini, beliau masih menyimpan harapan untuk bisa memiliki rumah sendiri. “Cukup gak cukup , tapi kita tetap bersyukur karena lebih berat kalau kita di luar. Kita lebih baik seadanya seperti sekarang. Pengen punya gubug sendiri mah neng, biar kecil, bertahan, asal bisa numpang hidup,” ujar Pak Totong.
Ternyata dibalik kenyamanan yang Pak Totong rasakan berada di gedung ini, beliau masih memendam harap agar beliau memiliki rumah sendiri meskipun hanya sebuah gubug kecil. Selain memiliki harapan terhadap kelangsungan tempat tinggalnya, beliau juga memiliki harapan tersendiri untuk gedung kesenian ini. “Jika gedung ini sudah bagus, harus ada pementasan atau kegiatan. Pemerintah atau seniman diharapkan untuk membuat acaranya,” tuturnya.
Pekerjaan sampingan yang dilakon Pak Totong yaitu meanarik becak, ternyata membuat Ibu Suharti terkadang merasa takut berada di dalam gedung yang besar ini seorang diri. “Ibu kadang takut neng kalo bapak lagi narik becak,” ungkapnya. Ibu Suharti Nampak merasa kesepian jika Pak Totong tengah menarik becak di luar. Namun, dengan raut yang ikhlas, mereka berusaha tetap mensyukuri keadaan yang ada. Karena semua yang mereka lakukan, tidak lain hanyalah untuk menjalani tuntutan hidup yang memang terkadang harus dijalani dengan cucuran peluh, dari peluh yang berwujud ataupun yang tersurat di dalam perasaan. Nomaden yang sungguh membawa hikmah. Antara keikhlasan dan kesederhanaan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar