Pahlawan Itu Bukan Siapa, tapi Apa?
Oleh
Teti Yohana
Tetapi bukan itu yang terlintas di
kepalanya
ketika ia tegak dengan tubuh yang penuh luka-luka.
Saat itu ia mendengar
nyanyian angin dan air yang turun dari gunung.
ketika ia tegak dengan tubuh yang penuh luka-luka.
Saat itu ia mendengar
nyanyian angin dan air yang turun dari gunung.
Perjuangan adalah satu pelaksanaan
cita dan rasa.
Perjuangan adalah pelunasan kesimpulan penghayatan.
Di saat badan berlumur darah,
jiwa duduk di atas teratai.
Perjuangan adalah pelunasan kesimpulan penghayatan.
Di saat badan berlumur darah,
jiwa duduk di atas teratai.
B
|
egitulah penggalan salah satu sajak
buah karya W.S Rendra yang berjudul “Sajak Peperangan Abimanyu”. Dari sajak
ini, makna yang begitu dalam tentang sebuah perjuangan yang hebat, yang
terlaksana dengan tekad seperti baja. Ditengah suasana mencekam karena hidup
dan mati dipertaruhkan, namun ada sekelompok manusia yang dengan jiwa
kepahlawanannya berusaha melunasi perjuangan dengan penuh penghayatan. Untuk
siapa lagi jika bukan untuk Negeri tercinta, Indonesia.
10 November
ialah hari yang biasa bangsa kita sebut sebagai Hari Pahlawan. Setiap tanggal
ini, kita sering melakukan seremonial untuk mengenang para pahlawan terdahulu
yaitu dengn mengadakan upacara bendera. Sang Saka Merah Putih berkibaran di
setiap penjuru bangsa. Dari mulai sekolah-sekolah yang rela memotong jam
pelajaran untuk melaksanakan seremonial ini. Tak ketinggalan para pejabat pun memenuhi
barisan, untuk mengikuti atasannya dan berbagai lapisan masyarakat lainnya juga
turut serta dalam upacara memperingati hari pahlawan ini.
Tentunya peringatan hari pahlawan ini seyogyanya bukan hanya sekadar melihat
sang bendera merah putih terpampang menjulang tinggi di atas tiang yang
dipersiapkan sebegitu gegap-gempitanya, dihadiri para petinggi bangsa,
didengarkan pidatonya, lantas setelah bubar lalu selesai begitu saja tanpa ada
satu nilai dan makna. Hal ini dari tahun ke tahun terasa semakin kurang untuk
dihayati dan menjadi gelap makna karena peringatan ini cenderung bersifat
seremonial saja.
Renungan Memperingati Hari Pahlawan
Sebuah momentum perjuangan memang sepantasnya kita ingat dan peringati, namun
bukan melulu untuk diperingati pada hari disaat peristiwa itu lahir saja,
melainkan banyak hal yang bisa kita tanamkan sepanjang masa pada diri kita
dengan ikut merasakan peluh yang para pejuang rasakan dan mengambil nilai-nilai
luhur yang bisa kita terapkan di kehidupan. Bukan dengan menambah coretan hitam
di bumi pertiwi kita. Tawuran dikalangan muda-mudi bangsa, pelecehan seksual
merebak dimana-mana, pembunuhan dengan berbagai motif, hadirnya geng motor yang
meresahkan warga bahkan sampai merenggut nyawa, narkotika seakan sulit
diberantas, inikah sebuah bentuk rasa syukur kita terhadap perjuangan para
pahlawan sejati kita terdahulu? Inikah sebuah bentuk pengimplementasian kita
terhadap perjuangan mereka? Sungguh seharusnya kita malu. Selama sifat malu
kita belum pudar, pasti kita akan bersyukur kepada Yang Maha Agung dan
bersyukur kepada sesama manusia. Nabi Muhammad SAW bersabda: “Barang siapa
yang tidak bersyukur kepda sesama manusia maka ia tidak bersyukur kepada Allah
SWT.”
Secara formal kita memang sudah mendapatkan
mandat bahwa kita sudah merdeka. Namun penjajahan kita saat ini tidak sama
seperti yang dirasakan oleh arek-arek Suroboyo ketika melawan Inggris di
Surabaya taun 1945 silam dengan hanya menggunakan beberapa pucuk senjata dan
bambu runcing saja. Bentuk penjajahan yang kita alami saat ini tidak bermimik
garang melainkan berwajah lemah lembut. Kita dijajah secara sistem!
Tengoklah Wahyono (40 tahun), warga Weru Lor Kecamatan Plered Kabupaten
Cirebon. Beliau berjuang mengais rezeki untuk mencukupi kebutuhan dapurnya
dengan berkeliling menawarkan jasa vermak levis dengan mesin jahit yang merk butterfy
yang sudah di modifikasi. Ia menekuni ini sejak 2004 silam, terhitung sudah
10 tahun. Penghasilannya tak menentu. Terkadang beliau pulang dengan membawa
uang Rp50 ribu, tetapi kadang juga ia hanya mendapat Rp20 ribu. Beliau menekuni
pekerjaan ini ialah untuk berjuang demi kedua anaknya yang sedang sekolah,
tentuya untuk membiayai mereka.
Kemudian Darsimah (65 tahun), seorang pembuat bata merah asal Blok Bojongsuruh
Kecamatan Sukagumiwang Kabupaten Indramayu. Meskipun usaha beliau baru berjalan
selama 2 tahun, namun sungguh dengan usia yang renta seperti beliau tidak
sepantasnya bekerja keras seperti ini. Ia melakukan ini untuk menghidupi
keluarganya, kemudian untuk membiayai 3 orang cucunya yang masih duduk di
bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Sebenarnya ada bantuan dari program keluarga harapan yang sudah digulirkan oleh
Pemerintah setempat namun paparnya keluarganya tidak mendapatkannya.
Masih terdapat berjuta masyarakat Indonesia yang terbelenggu dalam kemiskinan,
ketidakberdayaan untuk biaya sekolah, pengangguran yang semakin menumpuk,
petani yang dirampas tanahnya, buruh dengan gaji rendah. Dalam situasi lain,
pemerintah seolah berlomba-lomba terkena kasus korupsi. Lalu yang tengah booming
saat ini ialah kisruhnya para menteri baru yang kemarin baru saja dilantik.
Mereka justru seperti anak-anak SD yang baru masuk dunia sekolah kemudian
mereka tengah berebut kursi tempat duduknya.
Tan Malaka
membuat sebuah illustrasi yang menyedihkan tentang keadaan rakyat. Sebuah
kenyataan yang ditulis puluhan tahun silam namun masih
dekat dengan kenyataan yang sekarang kita alami: Beberapa juta jiwa sekarang
hidup dalam keadaan ‘pagi makan, petang tidak’. Mereka tidak bertanah dan
beralat lagi, tidak berpengharapan di belakang hari. Kekuasaan atas tanah
pabrik, alat-alat pengangkutan dan barang perdagangan, kini semuanya dipusatkan
dalam tangan beberapa sindikat...demikianlah rakyat Indonesia tambah lama
tambah miskin sebab gaji mereka tetap seperti biasa(malahan kerapkali
diturunkan), sementara barang-barang makanan semakin mahal...
Tugas kita saat ini adalah memberikan makna baru kepahlawanan dan mengisinya
sesuai dengan perkembangan zaman. Para pahlawan yang sudah berjuang
memerdekakan bangsa dengan mengorbankan nyawa, sudah sepatutnya untuk kita
menundukkan kepala mengenang jasa-jasanya. Namun tidak berhenti sampai disini saja,
kita harus memeliki pandangan yang peka terhadap Negara kita. Saat nasib Negara
yang terseok seperti sekarang ini dimana rakyat hidupnya semakin diperas,
perubahan hanya menjadi bahan diskusi, saat itulah gerakan kita terutama kaum
intelektual terpelajar menjadi kebutuhan yang diprioritaskan kearah yang utama.
Seorang yang mengakui pelajar bukanlah ia yang semata-mata mencintai
pengetahuan, tetapi bagaimana ia dapat memberikan kontribusi dalam
gagasan-gagasan mengenai perubahan. Karena itulah, solusi-solusi baru dan
tindakan real untuk perubahan sosial mutlak dibutuhkan.
"Janganlah mengira kita semua sudah cukup berjasa dengan segi tiga
warna. Selama masih ada ratap tangis di gubuk-gubuk pekerjaan kita selesai!
Berjuanglah terus dengan mengucurkan sebanyak-banyak keringat. Selamat hari
pahlawan."- Ir. Soekarno.
Kepahlawanan bukan soal “siapa”
melainkan mengenai “apa”. Semua orang bisa menjadi pahlawan dengan keberanian
dan kepeduliannya dalam memperjuangkan kepentingan bersama, bukan justru
mementingkan kepentingan pribadi dan kelompoknya. Jika kita sudah berperan
dengan semestinya, kita pasti akan terampil mengisi waktu yang tersita agar
tidak sia-sia untuk menjalankan rutinitas basa-basi yang selalu berulang setiap
tahun. Hari pahlawan harus menjadi momentum pembentukan dan peningkatan
kualitas watak kepahlawanan kita, bukan sekadar menerapkannya dalam sebuah
seremonial.
Penulis, Mahasiswi Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia (2D),
Unswagati
Cirebon
Tidak ada komentar:
Posting Komentar