Sabtu, 27 Desember 2014

Pahlawan Itu Bukan Siapa, tapi Apa?



Pahlawan Itu Bukan Siapa, tapi Apa?
Oleh Teti Yohana

Tetapi bukan itu yang terlintas di kepalanya
ketika ia tegak dengan tubuh yang penuh luka-luka.
Saat itu ia mendengar
nyanyian angin dan air yang turun dari gunung.
Perjuangan adalah satu pelaksanaan cita dan rasa.
Perjuangan adalah pelunasan kesimpulan penghayatan.
Di saat badan berlumur darah,
jiwa duduk di atas teratai.

B
egitulah penggalan salah satu sajak buah karya W.S Rendra yang berjudul “Sajak Peperangan Abimanyu”. Dari sajak ini, makna yang begitu dalam tentang sebuah perjuangan yang hebat, yang terlaksana dengan tekad seperti baja. Ditengah suasana mencekam karena hidup dan mati dipertaruhkan, namun ada sekelompok manusia yang dengan jiwa kepahlawanannya berusaha melunasi perjuangan dengan penuh penghayatan. Untuk siapa lagi jika bukan untuk Negeri tercinta, Indonesia.
           

    10 November ialah hari yang biasa bangsa kita sebut sebagai Hari Pahlawan. Setiap tanggal ini, kita sering melakukan seremonial untuk mengenang para pahlawan terdahulu yaitu dengn mengadakan upacara bendera. Sang Saka Merah Putih berkibaran di setiap penjuru bangsa. Dari mulai sekolah-sekolah yang rela memotong jam pelajaran untuk melaksanakan seremonial ini. Tak ketinggalan para pejabat pun memenuhi barisan, untuk mengikuti atasannya dan berbagai lapisan masyarakat lainnya juga turut serta dalam upacara memperingati hari pahlawan ini.
            Tentunya peringatan hari pahlawan ini seyogyanya bukan hanya sekadar melihat sang bendera merah putih terpampang menjulang tinggi di atas tiang yang dipersiapkan sebegitu gegap-gempitanya, dihadiri para petinggi bangsa, didengarkan pidatonya, lantas setelah bubar lalu selesai begitu saja tanpa ada satu nilai dan makna. Hal ini dari tahun ke tahun terasa semakin kurang untuk dihayati dan menjadi gelap makna karena peringatan ini cenderung bersifat seremonial saja.
Renungan Memperingati Hari Pahlawan
            Sebuah momentum perjuangan memang sepantasnya kita ingat dan peringati, namun bukan melulu untuk diperingati pada hari disaat peristiwa itu lahir saja, melainkan banyak hal yang bisa kita tanamkan sepanjang masa pada diri kita dengan ikut merasakan peluh yang para pejuang rasakan dan mengambil nilai-nilai luhur yang bisa kita terapkan di kehidupan. Bukan dengan menambah coretan hitam di bumi pertiwi kita. Tawuran dikalangan muda-mudi bangsa, pelecehan seksual merebak dimana-mana, pembunuhan dengan berbagai motif, hadirnya geng motor yang meresahkan warga bahkan sampai merenggut nyawa, narkotika seakan sulit diberantas, inikah sebuah bentuk rasa syukur kita terhadap perjuangan para pahlawan sejati kita terdahulu? Inikah sebuah bentuk pengimplementasian kita terhadap perjuangan mereka? Sungguh seharusnya kita malu. Selama sifat malu kita belum pudar, pasti kita akan bersyukur kepada Yang Maha Agung dan bersyukur kepada sesama manusia. Nabi Muhammad SAW bersabda: “Barang siapa yang tidak bersyukur kepda sesama manusia maka ia tidak bersyukur kepada Allah SWT.”
            Secara formal kita memang sudah mendapatkan mandat bahwa kita sudah merdeka. Namun penjajahan kita saat ini tidak sama seperti yang dirasakan oleh arek-arek Suroboyo ketika melawan Inggris di Surabaya taun 1945 silam dengan hanya menggunakan beberapa pucuk senjata dan bambu runcing saja. Bentuk penjajahan yang kita alami saat ini tidak bermimik garang melainkan berwajah lemah lembut. Kita dijajah secara sistem!
            Tengoklah Wahyono (40 tahun), warga Weru Lor Kecamatan Plered Kabupaten Cirebon. Beliau berjuang mengais rezeki untuk mencukupi kebutuhan dapurnya dengan berkeliling menawarkan jasa vermak levis dengan mesin jahit yang merk butterfy yang sudah di modifikasi. Ia menekuni ini sejak 2004 silam, terhitung sudah 10 tahun. Penghasilannya tak menentu. Terkadang beliau pulang dengan membawa uang Rp50 ribu, tetapi kadang juga ia hanya mendapat Rp20 ribu. Beliau menekuni pekerjaan ini ialah untuk berjuang demi kedua anaknya yang sedang sekolah, tentuya untuk membiayai mereka.
            Kemudian Darsimah (65 tahun), seorang pembuat bata merah asal Blok Bojongsuruh Kecamatan Sukagumiwang Kabupaten Indramayu. Meskipun usaha beliau baru berjalan selama 2 tahun, namun sungguh dengan usia yang renta seperti beliau tidak sepantasnya bekerja keras seperti ini. Ia melakukan ini untuk menghidupi keluarganya, kemudian untuk membiayai 3 orang cucunya yang masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Sebenarnya ada bantuan dari program keluarga harapan yang sudah digulirkan oleh Pemerintah setempat namun paparnya keluarganya tidak mendapatkannya.
            Masih terdapat berjuta masyarakat Indonesia yang terbelenggu dalam kemiskinan, ketidakberdayaan untuk biaya sekolah, pengangguran yang semakin menumpuk, petani yang dirampas tanahnya, buruh dengan gaji rendah. Dalam situasi lain, pemerintah seolah berlomba-lomba terkena kasus korupsi. Lalu yang tengah booming saat ini ialah kisruhnya para menteri baru yang kemarin baru saja dilantik. Mereka justru seperti anak-anak SD yang baru masuk dunia sekolah kemudian mereka tengah berebut kursi tempat duduknya.
            Tan Malaka membuat sebuah illustrasi yang menyedihkan tentang keadaan rakyat. Sebuah kenyataan yang ditulis puluhan tahun silam namun masih dekat dengan kenyataan yang sekarang kita alami: Beberapa juta jiwa sekarang hidup dalam keadaan ‘pagi makan, petang tidak’. Mereka tidak bertanah dan beralat lagi, tidak berpengharapan di belakang hari. Kekuasaan atas tanah pabrik, alat-alat pengangkutan dan barang perdagangan, kini semuanya dipusatkan dalam tangan beberapa sindikat...demikianlah rakyat Indonesia tambah lama tambah miskin sebab gaji mereka tetap seperti biasa(malahan kerapkali diturunkan), sementara barang-barang makanan semakin mahal...
            Tugas kita saat ini adalah memberikan makna baru kepahlawanan dan mengisinya sesuai dengan perkembangan zaman. Para pahlawan yang sudah berjuang memerdekakan bangsa dengan mengorbankan nyawa, sudah sepatutnya untuk kita menundukkan kepala mengenang jasa-jasanya. Namun tidak berhenti sampai disini saja, kita harus memeliki pandangan yang peka terhadap Negara kita. Saat nasib Negara yang terseok seperti sekarang ini dimana rakyat hidupnya semakin diperas, perubahan hanya menjadi bahan diskusi, saat itulah gerakan kita terutama kaum intelektual terpelajar menjadi kebutuhan yang diprioritaskan kearah yang utama. Seorang yang mengakui pelajar bukanlah ia yang semata-mata mencintai pengetahuan, tetapi bagaimana ia dapat memberikan kontribusi dalam gagasan-gagasan mengenai perubahan. Karena itulah, solusi-solusi baru dan tindakan real untuk perubahan sosial mutlak dibutuhkan.
            "Janganlah mengira kita semua sudah cukup berjasa dengan segi tiga warna. Selama masih ada ratap tangis di gubuk-gubuk pekerjaan kita selesai! Berjuanglah terus dengan mengucurkan sebanyak-banyak keringat. Selamat hari pahlawan."- Ir. Soekarno.

            Kepahlawanan bukan soal “siapa” melainkan mengenai “apa”. Semua orang bisa menjadi pahlawan dengan keberanian dan kepeduliannya dalam memperjuangkan kepentingan bersama, bukan justru mementingkan kepentingan pribadi dan kelompoknya. Jika kita sudah berperan dengan semestinya, kita pasti akan terampil mengisi waktu yang tersita agar tidak sia-sia untuk menjalankan rutinitas basa-basi yang selalu berulang setiap tahun. Hari pahlawan harus menjadi momentum pembentukan dan peningkatan kualitas watak kepahlawanan kita, bukan sekadar menerapkannya dalam sebuah seremonial.

Penulis, Mahasiswi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (2D),
 Unswagati Cirebon

Tidak ada komentar:

Posting Komentar