Sabtu, 27 Desember 2014

“Seks Hunter” Memangsa Anak Indonesia !



“Seks Hunter” Memangsa Anak Indonesia !
Oleh : Arin Restu Fauzi


D
ewasa ini di negeri tercinta kita, Indonesia, sedang dihebohkan dengan “Seks Hunter”. Apa itu “Seks Hunter” ? Seks Hunter adalah seorang manusia yang selalu memburu hasrat seksualnya kepada mangsanya untuk melakukan segala bentuk tindakan yang mengarah pada hal-hal seksual yang dilakukan secara sepihak. Seks Hunter kebanyakan dilakukan oleh kaum laki-laki, meskipun tidak banyak juga dilakukan oleh kaum perempuan. Seks Hunter termasuk kepada pelaku kejahatan seksual. Kejahatan seksual merupakan dua bentuk pelanggaran atas kesusilaan yang bukan saja merupakan masalah hukum nasional suatu negara, melainkan sudah merupakan masalah hukum semua negara di dunia atau merupakan masalah global.
Kasus pelecehan seksual memang yang lebih marak dikalangan masyarakat. Apalagi kini yang menjadi korban pelecehan seksual kebanyakan adalah anak-anak. Para Seks Hunter benar-benar sudah kehilangan akal sehatnya, mereka tidak pandang bulu untuk memangsa korbannya. Anak-anak yang semestinya masih menikmati masa bermainnya dengan penuh suka cita, malah membuat anak-anak tersebut menjadi pendiam, dan pemurung, akibat trauma yang sangat mendalam atas perlakuan yang diterimanya. Tak hanya psikisnya saja yang terganggu, tapi kesehatan fisiknya pun terganggu akibat perlakuannya yang dapat memicu kearah penyakit kelamin. Pelecehan seksual pada anak telah mendapatkan perhatian masyarakat luas dalam beberapa dekade terakhir dan telah menjadi salah satu profil kejahatan yang paling tinggi. Sejak tahun 1970-an pelecehan seksual terhadap anak-anak telah semakin diakui sebagai sesuatu yang sangat merusak fisik maupun psikis bagi anak-anak.
 Menurut laporan akhir tahun Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), ada 817 kasus pelecehan seksual pada anak sepanjang tahun 2013. Ini berarti hampir 70-80 anak mengalami kekerasan seksual setiap bulannya. Berdasarkan tempat kejadiannya, pelecehan seksual pada anak terjadi di lingkungan keluarga ada 24 persen, lingkungan sosial 56 persen, dan sekolah 17 persen (Liputan6, 24/01/2014). Pelakunya pun beragam, mulai dari keluarga terdekat, teman terdekat, bahkan seorang pendidik pun pernah terlibat dalam kasus ini. Seperti kasus pelecehan seksual yang terjadi disalah satu sekolah yang bertaraf Internasional yang berada di Jakarta, April lalu. Bahkan, pertengahan Mei lalu pernah mencuat kasus pelecehan seksual di Kota Cirebon yang dilakukan oleh siswa kelas 3 sekolah dasar (SD) terhadap tujuh korban yang merupakan siswa taman kanak-kanak (TK).
Hukuman bagi pelaku pelecehan seksual telah diatur secara khusus menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pada pasal 287, pasal 290, pasal 293, pasal 294, dan pasal 295. Sedangkan menurut Undang-undang Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002, yaitu pasal 78, pasal 82, dan pasal 88. Dari semua pasal-pasal di atas dijelaskan tentang ketentuan pidana dan jenis pidana yang diberikan kepada pihak yang melakukan pelecehan seksual. Sanksi yang diberikan berupa sanksi pidana penjara minimal tiga tahun dan maksimal 15 tahun, dan denda minimal 60 juta rupiah dan maksimal 300 juta rupiah. Tindakan pelecehan seksual terhadap anak-anak seharusnya dihukum seberat-beratnya, bila perlu dihukum mati, karena pelecehan seksual pada anak dapat merusak dan berdampak buruk bagi mental si anak. Hal itu diperlukan agar dapat menimbulkan efek jera kepada para  Seks Hunter.
Dengan meningkatnya kasus pelecehan seksual yang terjadi pada anak akhir-akhir ini, memerlukan penanganan yang serius dari aparat penegak hukum. Jika dilihat dari usia pelaku pelecehan seksual yang terjadi di Kota Cirebon, pelaku masih tergolong anak-anak. Oleh sebab itu, semestinya para orang tua harus memberikan ekstra perhatian terhadap anak-anaknya, orang  tua harus bersifat terbuka, orang tua harus memberikan dasar-dasar tentang pengetahuan seksual semenjak dini dengan cara memberikan batasan-batasan organ tubuh mana yang dapat disentuh oleh orang lain, orang tua harus menanyakan tentang semua kegiatan yang dilakukan anaknya, dengan demikian orang tua akan mengetahui jika melihat perilaku anaknya yang berbeda atau berubah.
Di samping itu, peristiwa ini juga bisa menjadi tamparan keras bagi dunia pendidikan. Citra pendidikan seakan tercoreng begitu saja dengan peristiwa memalukan seperti ini. Padahal dunia pendidikan menjadi wahana pembelajaran pengetahuan dan nilai-nilai luhur, seharusnya dapat memberikan perlindungan dan pengawasan terhadap peserta didik dalam perkembangannya, sehingga tidak terjadi hal-hal seperti ini. Anak-anak yang seharusnya mengukir prestasi, malah dijadikan sebagai pemuas napsu para Seks Hunter. Dalam hal ini peran seorang guru sangat dibutuhkan. Guru harus menjadi contoh yang baik bagi murid-muridnya,  serta lembaga pendidikan juga harus lebih mengawasi semua tenaga pendidiknya, agar terbangun integritas yang maksimal. Anak-anak yang telah dititipkan di lembaga pendidikan, orang tua seharusnya tidak serta merta lepas tangan terhadap tanggung jawabnya. Lembaga pendidikan juga tidak menjamin anak akan terjauh dari hal-hal yang negatif seperti itu. Maka dibutuhkan kerjasama antara orang tua dengan lembaga pendidikan untuk saling mengawasi dan melindungi si anak.

Mahasiswa Semester 3 FKIP Bahasa dan Sastra Indonesia
Universitas Swadaya Gunung Jati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar