“Seks Hunter” Memangsa Anak Indonesia !
Oleh
: Arin Restu Fauzi
D
|
ewasa ini di negeri
tercinta kita, Indonesia, sedang dihebohkan dengan “Seks Hunter”. Apa itu “Seks
Hunter” ? Seks Hunter adalah
seorang manusia yang selalu memburu hasrat seksualnya kepada mangsanya untuk
melakukan segala bentuk tindakan yang mengarah pada hal-hal seksual yang
dilakukan secara sepihak. Seks Hunter
kebanyakan dilakukan oleh kaum laki-laki, meskipun tidak banyak juga dilakukan
oleh kaum perempuan. Seks Hunter
termasuk kepada pelaku kejahatan seksual. Kejahatan seksual merupakan dua
bentuk pelanggaran atas kesusilaan yang bukan saja merupakan masalah hukum
nasional suatu negara, melainkan sudah merupakan masalah hukum semua negara di
dunia atau merupakan masalah global.
Kasus
pelecehan seksual memang yang lebih marak dikalangan masyarakat. Apalagi kini
yang menjadi korban pelecehan seksual kebanyakan adalah anak-anak. Para Seks Hunter benar-benar sudah kehilangan
akal sehatnya, mereka tidak pandang bulu untuk memangsa korbannya. Anak-anak yang
semestinya masih menikmati masa bermainnya dengan penuh suka cita, malah
membuat anak-anak tersebut menjadi pendiam, dan pemurung, akibat trauma yang
sangat mendalam atas perlakuan yang diterimanya. Tak hanya psikisnya saja yang
terganggu, tapi kesehatan fisiknya pun terganggu akibat perlakuannya yang dapat
memicu kearah penyakit kelamin. Pelecehan seksual pada anak telah mendapatkan
perhatian masyarakat luas dalam beberapa dekade terakhir dan telah menjadi
salah satu profil kejahatan yang paling tinggi. Sejak tahun 1970-an pelecehan
seksual terhadap anak-anak telah semakin diakui sebagai sesuatu yang sangat
merusak fisik maupun psikis bagi anak-anak.
Menurut laporan akhir tahun Komisi Nasional
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), ada 817 kasus pelecehan seksual pada anak
sepanjang tahun 2013. Ini berarti hampir 70-80 anak mengalami kekerasan seksual
setiap bulannya. Berdasarkan tempat kejadiannya, pelecehan seksual pada anak
terjadi di lingkungan keluarga ada 24 persen, lingkungan sosial 56 persen, dan
sekolah 17 persen (Liputan6, 24/01/2014). Pelakunya pun beragam, mulai dari
keluarga terdekat, teman terdekat, bahkan seorang pendidik pun pernah terlibat
dalam kasus ini. Seperti kasus pelecehan seksual yang terjadi disalah satu
sekolah yang bertaraf Internasional yang berada di Jakarta, April lalu. Bahkan,
pertengahan Mei lalu pernah mencuat kasus pelecehan seksual di Kota Cirebon
yang dilakukan oleh siswa kelas 3 sekolah dasar (SD) terhadap tujuh korban yang
merupakan siswa taman kanak-kanak (TK).
Hukuman
bagi pelaku pelecehan seksual telah diatur secara khusus menurut Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pada pasal 287, pasal 290, pasal 293, pasal
294, dan pasal 295. Sedangkan menurut Undang-undang Perlindungan Anak No. 23
Tahun 2002, yaitu pasal 78, pasal 82, dan pasal 88. Dari semua pasal-pasal di
atas dijelaskan tentang ketentuan pidana dan jenis pidana yang diberikan kepada
pihak yang melakukan pelecehan seksual. Sanksi yang diberikan berupa sanksi
pidana penjara minimal tiga tahun dan maksimal 15 tahun, dan denda minimal 60
juta rupiah dan maksimal 300 juta rupiah. Tindakan pelecehan seksual terhadap
anak-anak seharusnya dihukum seberat-beratnya, bila perlu dihukum mati, karena
pelecehan seksual pada anak dapat merusak dan berdampak buruk bagi mental si
anak. Hal itu diperlukan agar dapat menimbulkan efek jera kepada para Seks
Hunter.
Dengan
meningkatnya kasus pelecehan seksual yang terjadi pada anak akhir-akhir ini,
memerlukan penanganan yang serius dari aparat penegak hukum. Jika dilihat dari
usia pelaku pelecehan seksual yang terjadi di Kota Cirebon, pelaku masih
tergolong anak-anak. Oleh sebab itu, semestinya para orang tua harus memberikan
ekstra perhatian terhadap anak-anaknya, orang
tua harus bersifat terbuka, orang tua harus memberikan dasar-dasar
tentang pengetahuan seksual semenjak dini dengan cara memberikan
batasan-batasan organ tubuh mana yang dapat disentuh oleh orang lain, orang tua
harus menanyakan tentang semua kegiatan yang dilakukan anaknya, dengan demikian
orang tua akan mengetahui jika melihat perilaku anaknya yang berbeda atau
berubah.
Di
samping itu, peristiwa ini juga bisa menjadi tamparan keras bagi dunia
pendidikan. Citra pendidikan seakan tercoreng begitu saja dengan peristiwa
memalukan seperti ini. Padahal dunia pendidikan menjadi wahana pembelajaran
pengetahuan dan nilai-nilai luhur, seharusnya dapat memberikan perlindungan dan
pengawasan terhadap peserta didik dalam perkembangannya, sehingga tidak terjadi
hal-hal seperti ini. Anak-anak yang seharusnya mengukir prestasi, malah dijadikan
sebagai pemuas napsu para Seks Hunter.
Dalam hal ini peran seorang guru sangat dibutuhkan. Guru
harus menjadi contoh yang baik bagi murid-muridnya, serta lembaga pendidikan juga harus lebih
mengawasi semua tenaga pendidiknya, agar terbangun integritas yang maksimal.
Anak-anak yang telah dititipkan di lembaga pendidikan, orang tua seharusnya
tidak serta merta lepas tangan terhadap tanggung jawabnya. Lembaga pendidikan
juga tidak menjamin anak akan terjauh dari hal-hal yang negatif seperti itu.
Maka dibutuhkan kerjasama antara orang tua dengan lembaga pendidikan untuk
saling mengawasi dan melindungi si anak.
Mahasiswa Semester 3
FKIP Bahasa dan Sastra Indonesia
Universitas Swadaya Gunung Jati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar