RESENSI NOVEL
“RINDU”
TERE LIYE
OLEH : ARIN RESTU FAUZI
IDENTITAS
BUKU
Judul Buku
:
Rindu
Penulis
:
Tere Liye
Editor
:
Andriyati
Penerbit
: Republika
Cetakan : Cetakan
kesatu, 2014
Tebal buku
: 544
halaman
Setiap
perjalanan selalu disertai oleh pertanyaan-pertanyaan.
Kisah ini
adalah tentang pertanyaan-pertanyaan tersebut. Ada lima pertanyaan yang
dibawa oleh
lima penumpang dalam kapal Blitar Holland.
“Apakah Tuhan masih mau memaafkan saya?
Meski saya bergelimang dosa dan pernah
hidup dengan cara yang nista dan hina?”
“Kenapa saya harus begitu membenci
seseorang? Bagaimana caranya menghapuskan
rasa benci ini?”
“Kenapa saya harus jatuh cinta? Kenapa
ketika jatuh cinta, bukan bahagia yang
memenuhi hati ini, tapi malah rasa sakit
yang tak terperi? Kenapa Tuhan memberikan
rasa cinta lantas Ia menghadapkan kita
pada kenyataan bahwa cinta itu tak bisa kita
miliki?”
“Kenapa Tuhan mengambil orang-orang yang
sangat kita cintai? Kenapa tak bisa
menunggu sedikit saja, sebentar saja, hingga
apa yang kami impikan dan harapkan bisa
menjadi kenyataan?”
“Kenapa rasanya begitu munafik? Memberikan
nasehat dan kata-kata bijak pada orang
lain namun diri sendiri tak bisa melakukan
sesatu yang benar?”
Novel ini mengangkat sebuah kisah
yang berlatar waktu tahun 1938 Masehi, tujuh tahun sebelum kemerdekaan
Indonesia. Berawal dari berlabuhnya sebuah kapal uap bernama Blitar Holland
milik perusahaan Belanda di pelabuhan Makassar dengan tujuan mengangkut para
calon jemaah haji menuju ke tanah suci. Perjalanan menunaikan rukun Islam yang
kelima pada masa itu bukanlah sebuah perjalanan yang bisa ditempuh dalam waktu
yang singkat.
Dalam novel ini terdapat lima tokoh
inti dengan latar belakang, usia, daerah asal, dan karakter yang berbeda-beda,
yakni bernama Bonda Upe, Daeng Andipati, Mbah Kakung Slamet, Ambo Uleng, dan
Ahmad Karaeng (Gurutta). Mereka disatukan dalam sebuah perjalanan yang sama,
yakni untuk menggenapkan rukun islam yang kelima.
Dari kelima tokoh inilah, lima
pertanyaan besar akan terlontar. Pertanyaan-pertanyaan itu, adalah refleksi batin dari peristiwa yang mereka
alami dan membayangi perasaan mereka dengan kegelisahan yang sangat kronis : masa
lalu yang kelam, kebencian yang mendalam, kehilangan belahan jiwa, cinta yang
tak bisa dimiliki, dan juga kemunafikan.
Permasalahan
yang dialami tokoh-tokoh dalam novel ini antara satu dengan yang lainnya
berbeda-beda. Tiap masalah memunculkan satu pertanyaan besar. Masalah dan
pertanyaan itu lah yang menjadi bagian terpenting dari cerita dalam novel ini.
Dalam
novel ini salah satu tokoh nya memiliki masa lalu yang begitu kelam. Masa lalu
yang sama sekali tak ingin dia ingat. Ia dulu pernah menjadi seorang pelacur.
Ia merasa begitu hina dan kotor karena profesi yang dulu pernah bertahun-tahun
dilakoninya tersebut. Hingga ia merasa perlu untuk melarikan diri dari
segalanya, dari kehidupannya yang dulu, dari keluarganya, dari daerah asalnya,
karena takut dikenali orang-orang sebagai seorang mantan pelacur. Ia sampai
merubah namanya, dari Ling Ling menjadi Bonda Upe. Bukan hanya masa lalu nya
itu yang membuatya resah, namun pertanyaan yang muncul setelahnya. Kini ia
sedang dalam perjalanan menuju tanah suci untuk menunaikan ibadah haji. Ia
takut sekali dan terus mempertanyakan, “Apakah Allah menerima ibadah haji
seorang mantan pelacur?”. Masa lalu dan pertanyaan tersebut terus menghantui
dirinya hingga membuatnya takut untuk bersosialisasi, takut bertemu dengan
banyak orang, takut ada yang membuka identitas nya sebagai mantan pelacur.
Hingga ia memilih untuk menjadi orang yang sangat tertutup dan enggan berteman
dengan siapapun.
Dalam
kisah kedua, seorang tokoh bernama Daeng Andipati, memiliki rasa benci yang
telah bertahun-tahun ia rasakan dan ia simpan pada Ayahnya sendiri. Karena
perlakukan kejam sang ayah terhadap dirinya dan seluruh keluarganya, tak
terkecuali terhadap ibunya. Hingga akhirnya sang Ibu meninggal setelah dipukuli
sang ayah. Rasa benci inilah yang memunculkan pertanyaan besar dalam diri
Daeng. Bagaimana mungkin ia akan pergi naik haji dengan membawa kebencian
sebesar itu? apakah Tanah Suci akan terbuka bagi seorang anak yang membenci
ayahnya sendiri? Bagaimana caranya agar ia bisa memaafkan, melupakan semua?
Bagaimana caranya agar semua ingatan itu enyah pergi?
Kisah
ketiga, yakni kisah pertama tentang cinta ini adalah kisah seorang kakek tua
yang akrab dipanggil Mbah Kakung. Dalam perjalanan menuju Tanah Suci, Mbah
Kakung kehilangan cinta sejatinya, yakni sang istri, mbah putri. Padahal
perjalanan haji ini adalah perjalanan yang amat mereka nanti-nantikan. Ini
adalah pembuktian cinta mereka berdua yang telah berjuang bersama untuk
mengumpulkan keping demi keping uang selama bertahun-tahun untuk bisa naik
haji, karena mereka bukan berasal dari keluarga yang berada. Mimpi Mbah Kakung
kandas seketika setelah ditinggalkan oleh Mbah Putri. Ia tidak bisa menerima,
mengapa Istrinya tercinta harus diambil Allah sekarang? Saat sebentar lagi
mereka akan sampai di Tanah Suci? Mengapa tak bisa menunggu sebentar saja?
Kisah
cinta yang kedua adalah kisah tentang cinta yang tak bisa dimiliki. Seorang
pelaut bernama Ambo Uleng telah jatuh cinta dengan seorang anak gadis dari
keluarga kaya dan terpandang. Dan cintanya ditolak mentah-mentah oleh keluarga
sang gadis hanya karena ia bukan anak bangsawan, bukan dari kalangan
terpelajar, dan tidak memiliki harta yang cukup banyak untuk meminang sang
gadis. Padahal sang gadis juga diam-diam menyukai dirinya. Kenyataan pahit ini
membuat Ambo Uleng memutuskan untuk pergi sejauh mungkin dari kota tempat
tinggalnya, dan bergabung dalam rombongan kapal penumpang haji dengan mendaftar
menjadi seorang kelasi. Ia pun sama seperti tokoh-tokoh lainnya, mengutarakan
kesedihan dan kehancuran yang dirasakan hatinya pada Gurutta, sang ulama
mahsyur itu. Gurutta lagi-lagi mampu memberikan jawaban yang bijak atas
pertanyaan dan kegundahan yang dirasakan Ambo Uleng.
Inilah
kisah kelima, kisah dan pertanyaan besar yang ternyata datang dari seorang
laki-laki paling bijak diantara seluruh tokoh di atas. Laki-laki yang selalu
dimintai nasehat dan pendapatnya tentang segala permasalahan. Kisah ini datang
dari Gurutta, sang ulama mahsyur itu.
Mungkin
bagi beberapa orang, peperangan dan pertumpahan darah adalah sesuatu yang
sangat amat tidak baik dan tidak layak untuk dilakukan. Karena dengan
peperangan, kita bisa kehilangan orang-orang yang kita sayangi, kita bisa
kehilangan segalanya. Oleh karenanya orang-orang tersebut memilih jalan yang
lebih damai, salah satu contohnya seperti yang dilakukan oleh Gurutta, ia
memilih untuk menulis. Ia juga ingin negeri ini merdeka dari penjajahan, tapi
ia terlalu takut untuk ikut serta dalam peperangan, selalu menghindar dari
medan perang, dan lebih memilih melawan dengan cara yang lembut, melalui
tulisan-tulisan dan ceramah-ceramah agama.
Namun
pilihannya untuk menempuh jalan damai itu seketika dipertanyakan dalam sebuah
kondisi yang begitu genting dan mendesak, yakni ketika kapal yang ia tumpangi
bersama ribuan orang lainnya dibajak oleh perompak. Ambo uleng sudah menyusun
rencana penyerangan balik terhadap para perompak tersebut, namun dilain pihak
Gurutta malah tidak menyetujui rencana tersebut. Ia menolak mentah-mentah
dengan alasan akan banyak korban yang jatuh jika memutuskan untuk melakukan
penyerangan balik.
Dalam
kondisi genting itulah, Ambo Uleng, seorang laki-laki yang bukan berasal dari
kalangan berpendidikan tinggi, yang hanya seorang kelasi dapur itu mampu
membuat Gurutta menyadari kesalahan terbesarnya, membuat sang Ulama menemukan
jawaban dari pertanyaan besar yang selama ini menghantuinya.
Di dalam novel
ini tidak hanya memasukkan unsur sejarah dan percintaan saja namun juga
memasukkan unsur islami. Di samping itu, kuatnya pendeskripsian situasi dan
keadaan kota-kota pelabuhan yang disinggahi kapal, novel Rindu ini juga banyak
memunculkan peristiwa seru yang tidak terduga yang menghubungkannya dengan
pertanyaan lain dari para tokohnya. Tere Liye juga tak pelit menceritakan latar
belakang setiap tokoh utamanya, mengembangkan karakter mereka dalam dialog,
adegan dan narasi, hingga pembaca bisa dengan mudah memahami perasaan, pikiran
dan pandangan para tokoh tersebut. Bahkan visualisasi tokoh tersebut masih
tertinggal di dalam benak meski proses membaca novelnya telah usai.
Tidak sedikit adegan yang memancing
keharuan bahkan air mata, meski Tere Liye hanya sesekali menyelipkan
kalimat-kalimat puitis untuk menggambarkan konflik batin para tokohnya. Tere
Liye lebih cenderung pada deskripsi dan narasi yang panjang dan denotatif.
Namun saya yakin Tere Liye tak lupa melibatkan perasaan dan emosi yang optimal
saat menuliskannya, sehingga dengan teknik penceritaan yang tergolong general
pun, sudah mampu memberi “nyawa” dan emosional yang kuat pada jalinan
ceritanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar