Sabtu, 27 Desember 2014

RESENSI NOVEL “RINDU” TERE LIYE



RESENSI NOVEL
“RINDU”
TERE LIYE
OLEH : ARIN RESTU FAUZI


IDENTITAS BUKU
Judul Buku                                  : Rindu
Penulis                                         : Tere Liye
Editor                                          : Andriyati
Penerbit                                       : Republika
Cetakan                                       : Cetakan kesatu, 2014
Tebal buku                                  : 544 halaman


Setiap perjalanan selalu disertai oleh pertanyaan-pertanyaan.
Kisah ini adalah tentang pertanyaan-pertanyaan tersebut. Ada lima pertanyaan yang
dibawa oleh lima penumpang dalam kapal Blitar Holland.

“Apakah Tuhan masih mau memaafkan saya? Meski saya bergelimang dosa dan pernah
hidup dengan cara yang nista dan hina?”

“Kenapa saya harus begitu membenci seseorang? Bagaimana caranya menghapuskan
rasa benci ini?”

“Kenapa saya harus jatuh cinta? Kenapa ketika jatuh cinta, bukan bahagia yang
memenuhi hati ini, tapi malah rasa sakit yang tak terperi? Kenapa Tuhan memberikan
rasa cinta lantas Ia menghadapkan kita pada kenyataan bahwa cinta itu tak bisa kita
miliki?”

“Kenapa Tuhan mengambil orang-orang yang sangat kita cintai? Kenapa tak bisa
menunggu sedikit saja, sebentar saja, hingga apa yang kami impikan dan harapkan bisa
menjadi kenyataan?”

“Kenapa rasanya begitu munafik? Memberikan nasehat dan kata-kata bijak pada orang
lain namun diri sendiri tak bisa melakukan sesatu yang benar?”

Novel ini mengangkat sebuah kisah yang berlatar waktu tahun 1938 Masehi, tujuh tahun sebelum kemerdekaan Indonesia. Berawal dari berlabuhnya sebuah kapal uap bernama Blitar Holland milik perusahaan Belanda di pelabuhan Makassar dengan tujuan mengangkut para calon jemaah haji menuju ke tanah suci. Perjalanan menunaikan rukun Islam yang kelima pada masa itu bukanlah sebuah perjalanan yang bisa ditempuh dalam waktu yang singkat.
Dalam novel ini terdapat lima tokoh inti dengan latar belakang, usia, daerah asal, dan karakter yang berbeda-beda, yakni bernama Bonda Upe, Daeng Andipati, Mbah Kakung Slamet, Ambo Uleng, dan Ahmad Karaeng (Gurutta). Mereka disatukan dalam sebuah perjalanan yang sama, yakni untuk menggenapkan rukun islam yang kelima.
Dari kelima tokoh inilah, lima pertanyaan besar akan terlontar. Pertanyaan-pertanyaan itu, adalah refleksi batin dari peristiwa yang mereka alami dan membayangi perasaan mereka dengan kegelisahan yang sangat kronis : masa lalu yang kelam, kebencian yang mendalam, kehilangan belahan jiwa, cinta yang tak bisa dimiliki, dan juga kemunafikan.
Permasalahan yang dialami tokoh-tokoh dalam novel ini antara satu dengan yang lainnya berbeda-beda. Tiap masalah memunculkan satu pertanyaan besar. Masalah dan pertanyaan itu lah yang menjadi bagian terpenting dari cerita dalam novel ini.
Dalam novel ini salah satu tokoh nya memiliki masa lalu yang begitu kelam. Masa lalu yang sama sekali tak ingin dia ingat. Ia dulu pernah menjadi seorang pelacur. Ia merasa begitu hina dan kotor karena profesi yang dulu pernah bertahun-tahun dilakoninya tersebut. Hingga ia merasa perlu untuk melarikan diri dari segalanya, dari kehidupannya yang dulu, dari keluarganya, dari daerah asalnya, karena takut dikenali orang-orang sebagai seorang mantan pelacur. Ia sampai merubah namanya, dari Ling Ling menjadi Bonda Upe. Bukan hanya masa lalu nya itu yang membuatya resah, namun pertanyaan yang muncul setelahnya. Kini ia sedang dalam perjalanan menuju tanah suci untuk menunaikan ibadah haji. Ia takut sekali dan terus mempertanyakan, “Apakah Allah menerima ibadah haji seorang mantan pelacur?”. Masa lalu dan pertanyaan tersebut terus menghantui dirinya hingga membuatnya takut untuk bersosialisasi, takut bertemu dengan banyak orang, takut ada yang membuka identitas nya sebagai mantan pelacur. Hingga ia memilih untuk menjadi orang yang sangat tertutup dan enggan berteman dengan siapapun.
Dalam kisah kedua, seorang tokoh bernama Daeng Andipati, memiliki rasa benci yang telah bertahun-tahun ia rasakan dan ia simpan pada Ayahnya sendiri. Karena perlakukan kejam sang ayah terhadap dirinya dan seluruh keluarganya, tak terkecuali terhadap ibunya. Hingga akhirnya sang Ibu meninggal setelah dipukuli sang ayah. Rasa benci inilah yang memunculkan pertanyaan besar dalam diri Daeng. Bagaimana mungkin ia akan pergi naik haji dengan membawa kebencian sebesar itu? apakah Tanah Suci akan terbuka bagi seorang anak yang membenci ayahnya sendiri? Bagaimana caranya agar ia bisa memaafkan, melupakan semua? Bagaimana caranya agar semua ingatan itu enyah pergi?
Kisah ketiga, yakni kisah pertama tentang cinta ini adalah kisah seorang kakek tua yang akrab dipanggil Mbah Kakung. Dalam perjalanan menuju Tanah Suci, Mbah Kakung kehilangan cinta sejatinya, yakni sang istri, mbah putri. Padahal perjalanan haji ini adalah perjalanan yang amat mereka nanti-nantikan. Ini adalah pembuktian cinta mereka berdua yang telah berjuang bersama untuk mengumpulkan keping demi keping uang selama bertahun-tahun untuk bisa naik haji, karena mereka bukan berasal dari keluarga yang berada. Mimpi Mbah Kakung kandas seketika setelah ditinggalkan oleh Mbah Putri. Ia tidak bisa menerima, mengapa Istrinya tercinta harus diambil Allah sekarang? Saat sebentar lagi mereka akan sampai di Tanah Suci? Mengapa tak bisa menunggu sebentar saja?
Kisah cinta yang kedua adalah kisah tentang cinta yang tak bisa dimiliki. Seorang pelaut bernama Ambo Uleng telah jatuh cinta dengan seorang anak gadis dari keluarga kaya dan terpandang. Dan cintanya ditolak mentah-mentah oleh keluarga sang gadis hanya karena ia bukan anak bangsawan, bukan dari kalangan terpelajar, dan tidak memiliki harta yang cukup banyak untuk meminang sang gadis. Padahal sang gadis juga diam-diam menyukai dirinya. Kenyataan pahit ini membuat Ambo Uleng memutuskan untuk pergi sejauh mungkin dari kota tempat tinggalnya, dan bergabung dalam rombongan kapal penumpang haji dengan mendaftar menjadi seorang kelasi. Ia pun sama seperti tokoh-tokoh lainnya, mengutarakan kesedihan dan kehancuran yang dirasakan hatinya pada Gurutta, sang ulama mahsyur itu. Gurutta lagi-lagi mampu memberikan jawaban yang bijak atas pertanyaan dan kegundahan yang dirasakan Ambo Uleng.
Inilah kisah kelima, kisah dan pertanyaan besar yang ternyata datang dari seorang laki-laki paling bijak diantara seluruh tokoh di atas. Laki-laki yang selalu dimintai nasehat dan pendapatnya tentang segala permasalahan. Kisah ini datang dari Gurutta, sang ulama mahsyur itu.
Mungkin bagi beberapa orang, peperangan dan pertumpahan darah adalah sesuatu yang sangat amat tidak baik dan tidak layak untuk dilakukan. Karena dengan peperangan, kita bisa kehilangan orang-orang yang kita sayangi, kita bisa kehilangan segalanya. Oleh karenanya orang-orang tersebut memilih jalan yang lebih damai, salah satu contohnya seperti yang dilakukan oleh Gurutta, ia memilih untuk menulis. Ia juga ingin negeri ini merdeka dari penjajahan, tapi ia terlalu takut untuk ikut serta dalam peperangan, selalu menghindar dari medan perang, dan lebih memilih melawan dengan cara yang lembut, melalui tulisan-tulisan dan ceramah-ceramah agama.
Namun pilihannya untuk menempuh jalan damai itu seketika dipertanyakan dalam sebuah kondisi yang begitu genting dan mendesak, yakni ketika kapal yang ia tumpangi bersama ribuan orang lainnya dibajak oleh perompak. Ambo uleng sudah menyusun rencana penyerangan balik terhadap para perompak tersebut, namun dilain pihak Gurutta malah tidak menyetujui rencana tersebut. Ia menolak mentah-mentah dengan alasan akan banyak korban yang jatuh jika memutuskan untuk melakukan penyerangan balik.
Dalam kondisi genting itulah, Ambo Uleng, seorang laki-laki yang bukan berasal dari kalangan berpendidikan tinggi, yang hanya seorang kelasi dapur itu mampu membuat Gurutta menyadari kesalahan terbesarnya, membuat sang Ulama menemukan jawaban dari pertanyaan besar yang selama ini menghantuinya.
Di dalam novel ini tidak hanya memasukkan unsur sejarah dan percintaan saja namun juga memasukkan unsur islami. Di samping itu, kuatnya pendeskripsian situasi dan keadaan kota-kota pelabuhan yang disinggahi kapal, novel Rindu ini juga banyak memunculkan peristiwa seru yang tidak terduga yang menghubungkannya dengan pertanyaan lain dari para tokohnya. Tere Liye juga tak pelit menceritakan latar belakang setiap tokoh utamanya, mengembangkan karakter mereka dalam dialog, adegan dan narasi, hingga pembaca bisa dengan mudah memahami perasaan, pikiran dan pandangan para tokoh tersebut. Bahkan visualisasi tokoh tersebut masih tertinggal di dalam benak meski proses membaca novelnya telah usai.
Tidak sedikit adegan yang memancing keharuan bahkan air mata, meski Tere Liye hanya sesekali menyelipkan kalimat-kalimat puitis untuk menggambarkan konflik batin para tokohnya. Tere Liye lebih cenderung pada deskripsi dan narasi yang panjang dan denotatif. Namun saya yakin Tere Liye tak lupa melibatkan perasaan dan emosi yang optimal saat menuliskannya, sehingga dengan teknik penceritaan yang tergolong general pun, sudah mampu memberi “nyawa” dan emosional yang kuat pada jalinan ceritanya.
Pada novel ini latar yang sering muncul yakni di kapal, alangkah lebih baik jika latarnya diperluas lagi tidak hanya di sebuah kapal. Ketegasan penyelesaian masalah pada novel ini hanya terpaku pada pemberian nasehat saja pada setiap tokohnya. Jadi terkesan membosankan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar